Sabtu, 10 Juli 2010

Catatan ke 24

Puisi klasik lebih pada dampak;
Puisi kontemporer lebih pada bentuk;

Eh, terbalik!

25 Juni 2010

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!

17 Juni 2010

Catatan ke 22

Apa yang kuat; adalah sebuah momentum.
Apa yang tumbang; adalah sebuah momentum.
Yang kekal adalah bakal.

Kampung Baru, Bandarlampung, 13 Juni 2010

Pohon Tumbang dan Catatan ke 21

Pohon Tumbang

catatan-catatan tentang akar yang telah tak kuat menahan beban; batang, dahan, ranting, daun – dan musim berbunga – dan musim berbuah; ketika kita telah berjarak dengan cuaca yang akut di kulit mereka.

o.s.

bandarlampung, 31 Mei 2010


Catatan ke 21

Sandal yang besar, sandal yang menghargai akarnya.

Saudaraku, tidak ada akar yang kuat dari setiap pohon. Kekuatan adalah diam. Sedangkan akar –bergerak. Akar mencari. Mencari hara. Akar menggali – terus ke dalam bumi. Demi batang, dahan, ranting, daun, dan capung yang sedang bercinta itu. Selama hidupnya akar tak pernah berhenti mencari.

Bangsa yang besar, bangsa yang menghargai akarnya.

Catatan ke 20

Menulis puisi adalah menulis “sesuatu” yang ingin dikomunikasikkan. Ada seorang kawan, dulu, menyatakan ini kepadaku, “Aku belum bisa membaca puisimu saat ini, sesuatu yang sulbim.” Hampir empat tahun. Dan aku baru menyadari bahwa kita telah melupan fenomena penting hidup kita. Resonansi: inilah sesuatu yang kita anggap universal itu.

Kampung Baru, 14 April 2010

Catatan ke 19

Jika menginginkan pembaca manusiawi, penulis harus manusiawi.

Catatan ke 18

Puisi yang universal hanya mungkin kontekstual apabila puisi telah menempatkan dirinya sebagai garis potong kemanusiaan. Dengan demikian, dalam menentukan persamaan-persamaan garis puisi dibutuhkan ketajaman persepsi penyair (ket: dalam mempersepsikan sensasi, penyair, berupaya menempatkan puisi pada haknya sebagai sentral ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan terikat waktu; rekonstruksi sensasi, tak ayal lagi puisi apapun bersifat kontekstual. Puisi mengkongkritkan persepsi, dan sebermula adalah sensasi.

Catatan ke 17

Persoalan aksiologi dalam karya sastra bukan terletak pada bagaimana cara mengungkapkan karya sastra kepada masyarakat melainkan bagaimana masyarakat memiliki keinginan membaca karya sastra.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah dari 8 (seingat saya) model kebutuhan manusia menurut Maslow, karya sastra menempatkan diri di ruang kebutuhan yang mana?

Kebutuhan: segala sesuatu yang bersumber dari hati nurani (yang berbicara dari nurani).
Keinginan: segala sesuatu yang memunculkan motivasi dan tujuan.

Sedangkan nafsu berada di antara keduanya yang disebut daya ekspresi.



kebutuhan => daya ekspresi<=keinginan

daya ekspresi => katarsis


Keinginan berarti menyerap segala yang berbau mekanis. Kebutuhan berarti efektifitas kerja. Dengan kata lain usaha input kecil dan energi yang dihasilkan besar. Untuk mendapatkan usaha input kecil maka perlu merumuskan “yang berbau mekanis” sehingga dihasilkan alat ( daya ekspresi ).

Keinginan merumuskan kesederhanaan adalah ketidaksederhanaan.

Catatan ke 16

Dalam menulis puisi saya telah memilih jalan yang sejajar yaitu kesejajaran antara perasaan dan pikiran. Dengan demikian puisi berada pada kekosongan, tak memihak tetapi berada di antara keduanya. Puisi bagi saya adalah sebuah medan netral, di mana puisi tak menentukan sikap apapun terhadap perasaan dan pikiran, tapi bersedia dipengaruhi oleh yang lain dari keduanya. Yang lain itu saya sebut “jalan pemotongan”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kedewasaan dari perkembangan “saya”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kesiku-sikuan. Meski demikian, yang perlu disadari adalah ketakmungkinan tiba pada kesiku-sikuan tersebut. Yang terjadi adalah usaha mendekatinya sehingga diperoleh nilai lain yang tidak nol. Nilai lain yang tidak nol itulah yang saya sebut “kongkret”.

Catatan ke 15

Bagi saya, puisi adalah intuisi dan bunyi, mencipta kata, membentuk symbol, membentuk bahasanya sendiri, membentuk doa yang ditanam dalam buminya sendiri.

Entitaslah yang membangunkan saya, menggali tanah, menyiringkan kehadiran ke sungai. Mengalir. Tiba ke muara. Aku bukan laut, aku bukan lada. Aku adalah marga.

Bagi saya, puisi adalah “situasi” menuju keseimbangan.

Bandarlampung, 18 Desember 2007

Catatan ke 14

Apakah puisiku telah sampai pada suatu eksplorasi? Puisi tak hanya membutuhkan kata tapi juga intelektualitas penyair terhadap kata itu. Setiap penyair harus menjaga kejujuran pengalaman batinnya karena kejujuran itu akan memperlihatkan apakah kata-kata itu diktonomi peran atau tidak. Puisi adalah tempat di mana kata menjadi dewasa, tua, punya anak-cucu atau bahkan tempat di mana kita terluka – ada yang dikorbankan. Kata mungkin saja mati muda karena mungkin tak mampu bertahan dalam ruang bersuhu panas atau dingin, tak sanggup menahan lapar berhari-hari, atau diracuni dalam suatu ruang bernama tema.

Berpuisi, bagiku, adalah semacam bercerita kepada diri sendiri.

Rabu, 4 Juli 2007

Catatan ke 13

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kita tidak mungkin jatuh, jika kau belum yakin terhentak oleh sesuatu. Sejak awal kau selalu yakin kau adalah orang yang berhasil dalam proses pendidikan. Dan memang begitulah adanya. Pendidikan berlaku kepada setiap orang selama seumur hidup – sampai ke liang lahat. Dan pendidikan terakhirmu adalah saat hembusan terakhir nafasmu – yang mungkin juga …. Dan di saat itulah, mungkin, kita akan tahu pendidikan sebenarnya. Rahasia. Dan tetap rahasia.

Aku selalu berusaha untuk tak menangis di hadapan orang lain. Menahan. Dan terus menahan. Hidup juga kegiatan belajar menahan nafas. Menurutku, memang begitulah. Itulah sebabnya, menahan tangis ternyata lebih hidup. Kita adalah bagian orang lain. Tapi, kehidupan, apakah diciptakan untuk menangis. Memang begitulah takdirnya. Karena kau,tak akan mengerti kebahagiaan itu, jika kau tak membangunnya dengan kesedihan. “Hidup hanyalah menunda kekalahan.”

Aku juga tak pernah mengerti. Kau selalu saja sadar setelah melakukan kesalahan. Namun, untuk kau selalu yakin, kau benar melakukan kesalahan. Mungkin, disitulah kemenanganmu, tahu kebenaran setelah melakukan kesalahan.

Setiap orang telah diberi waktu hidup dan mungkin telah menyepakatinya. Tentu menyepakati. Jadi, juga tidak tepat kita mengejar waktu ataupun waktu yang selalu mengejar-ngejar kita sehingga kita berlari terbirit-birit. Waktu adalah kita, kehidupan ini juga bagian dari waktu. Dia mungkin juga orang tuamu, yang selalu menasehatimu untuk menjadi anak yang soleh dan tekun belajar, kadang keduanya memarahimu, karena kau tak mau nurut, “bapak, emak, bukan maksudku, aku belum mengerti. Mungkin aku harus terluka, jatuh dari sepeda, patah kaki, atau kehilangan kalian untuk selamanya.
19 Juni 2007

Catatan ke 12

Maka jelaslah, di tengah gemuruh perkembangan abad, memang tidak semua penyair selalu jernih berfain dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Catatan ke 11

Insaflah, puisi tidak akan memberimu harta benda, tapi dengan puisi kau tahu perjalananmu. Tidak akan semudah itu kepenyairan dalam dirimu dewasa begitu saja – kau harus memberikan pendidikan yang cukup pada dirinya; ajarkan kesabaran – artinya kau harus sabar.

Puisi adalah cerminan dari kejujuran, kesabaran, dan kenangan dalam dirimu.

18 Maret 2007

Catatan ke 10

Puisi berasal dari pengembangan dan perenungannya – bukan diam di tempat.

16 Maret 2007

Catatan ke 9

Kesalahan tetaplah kesalahan. Tetapi dia sangat berarti untuk nilai-nilai kebenaran yang digapai.

9 Maret 2007

Catatan ke 8

Penyair itu diciptakan bukan dibuat. Begitupula kata. Kata tercipta bukan dibuat-buat (dalam konteks asal kata). Dari sinilah dapat kita lihat keber’Ada’an tuhan dalam mewujudkan eksistensi kita sebagai manusia. Bahasa membuat kita saling mengerti dan juga membuat kita tak saling mengerti. Karena kata punya pengalaman – kita punya pengalaman – namun berbeda. Kita yang harus mencari tahu, bukan kata mencari tahu tentang keinginan kita. Kita yang harus mengerti kata – dia bebas sukma. Kata adalah kata itu sendiri.

Dengan kata kita tahu “gelas” adalah gelas, “meja” adalah meja, “kursi” adalah kursi. Namun darimana kata “gelas”, ‘meja”, “kursi”? dari hurufkah? Dari suarakah?

7 Maret 2007

Catatan ke 7

Kekuatan puisi bukanlah pada imajinasi, tapi keutuhan teks, sedangkan teks tersusun atas kata-kata membentuk makna – utuh, “gali dan gali lebih dalam lagi!”

Catatan ke 6

Siap saya? Saya sendiri tidak tahu. Apalagi cinta, cinta pada siapa? Kesombongan yang kau agungkan, berdalih sebagai orang yang sok sibuk – atau kau sedang berusaha menemukan sesuatu; atau tak sengaja menemukan karena tuhan menunjukkan jalan? Yang jelas, aku sendiri belum mampu mengurus diri sendiri, mencoba mengurus orang lain – hanya orang gila yang melakukan itu. Setaraf itukah?

Hei! Kau terlambat hari ini. itu kenyataan yang terjadi. Kau pun tak diizinkan masuk. Inilah bentuk keformalan itu. Apakah kau tak terima? Mengapa kau memasuki dunianya? Aku ingin belajar! Hanya itu. Maka hari ini adalah suatu pelajaran.

16 November 2006

Catatan ke 5

Ada kalanya tugas yang sangat banyak harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada alasan untuk tidak diselesaikan. Kita harus cerdas dan cerdik dalam menanggapi aturan-aturan dan masalah. Antisipasi terhadap sesuatu adalah hal yang sangat baik.

4 Desember 2006